PANTJANTOHO PATJAKA
DAJAK BADJAJOE KAMPOENG
MANGKATIP
(PANGANTUHU PUSAKA DAYAK BADJAJOE PENJAGA KAMPUNG MANGKATIP)
Kampung Mangkatip terletak di sungai Barito bagian Hilir, Dikecamatan Dusun Hilir, Kabupaten Barito Selatan, Di kampung ini terdapat kisah sejarah yang bagus untuk diceritakan yaitu adanya pusaka leluhur yang diwariskan oleh tetuha suku Dayak Badjajoe Mangkatip. Pusaka ini sampai sekarang masih dipercaya memiliki kekuatan gaib yang besar sehingga mampu melindungi kampung Mangkatip dari bahaya.
Pantjantoho Pantjaka Dajak Badjadjoe (dibaca: Pangatoho Pusaka Dayak Badjadjo) adalah sisa sampung jukung dari kerajaan Banjar yang pertama (Raja banjar yang pertama masih memeluk agama Hindu Kaharingan). Sesuai kepercayaan penduduk kampung bahwa rumah tempat benda pusaka itu disimpan dihuni oleh roh-roh gaib yang memiliki ilmu kesaktian yang sangat tinggi sehingga berkemampuan melindungi kampung Mangkatip dari segala bala bahaya.
Menurut kisah tetuha zaman dahulu, benda pusaka tersebut ditemukan oleh orang yang sedang menjala ikan di daerah tanjung paku di hulu jenamas. Pada saat nelayan ini sedang menjala, dia mendengar suara tangisan anak kecil, saat itulah dia menghentikan aktivitasnya dan mencari sumber tangisan itu. Karena sumber tangisan tidak didapati maka dia berhenti melakukan pencarian. Namun belum lama dia menghentikan pencarian ternyata suara tangisan itu terdengar kembali. Lantaran pencarian demi pencarian tidak membuahkan hasil maka dia menetapkan hatinya untuk berhenti dan pulang kerumahnya di kampung mangkatip. Dari kampung itulah dia lantas mengisahkan pengalamanya yang aneh di saat menjala di hulu Jenamas.
Keesokan harinya lelaki ini kembali lagi menjala ketempat yang sama dengan ditemani tiga orang saudaranya. Dengan mengayuh jukung mereka berempat menuju ketempat menjala ikan, begitu sampai ketempat tujuan, saat itu juga langsung terdengar suara tangisan anak kecil, karena arah tangisan mampu dideteksi dengan baik maka mereka langsung menuju ke arah sumber suara, apa yang terjadi ? Ternyata sumber suara itu berasal dari sampung jukung (Kepala Perahu) yang berada dibawah pohon kapuk jangkang. Menurut kisah pohon kapuk.
tempat ditemukannya kepala perahu tersebut masih hidup sampai sekarang di tengah kampung. Selepas itu mereka berempat pulang ke kampung mangkatip.
Malam harinya salah satu dari keempat bersaudara itu bermimpi. Didalam tidurnya dia didatangi oleh roh gaib yang mendiami kepala perahu yang mereka dapati di tanjung paku. Roh itu bercerita : “ aku adalah kepala perahu orang quraisy itu dan aku berkeingina untuk ikut menetap di kampung mangkatip agar aku bisa memelihara kampung karena aku merasa kasihan dengan kalian yang hidup dikampung itu. Oleh karena itu buatkanlah untukku rumah khusus sebagai tempat kediamanku. Bagitulah keadaanku karena aku ingin pindah ke hulu karena aku tidak bisa pindah ke hilir. Kalau kalian memindahkan aku maka pindahkanlah ke hulu, dan kepindahanku haruslah senantiasa ke arah hulu”. Keesokan harinya nelayan itu mengisahkan mimpinya kepada para saudaranya dan kepada orang kampung mangkatip. Maka pada akhirnya pada tanggal 20 November 1538 dibuatlah rumah khusus untuk menempatkan kepala perahu yang dinamakan pancantoho.
Pada masa itu para nelayan tersebut dalam suasana perang melawan penjajah di daerah Kepala Barito (Murung Raya) yang dikenal umum dengan “Perang Kasintu Kuluk Barito”. Sejak peperangan itu maka keempat bersaudara tidak terdengar lagi kisahnya. Selanjutnya yang terpilih untuk memelihara pancatoho adalah seorang lelaki tua yang bernama pantau, yang dikenali masyarakat dengan gelaran Bue Janggut (Kakek Janggut). Setelah kakek janggut meninggal dunia maka lokasi pancantoho dipindahkan kearah mangkatip hulu dengan di iringi upacara adat dayak badjadjo dan juru peliharanya adalah Indu Burui.
Karena rumah Pancantoho rusak berat maka pada tanggal 20 Januari 1987 dipindahkan lagi ke hulu mangkatip dengan juru kunci diserahkan kepada Duyan Lihun (Pa An). Beliau inilah yang memelihara pusaka pancantoho ini sampai beliau meninggal dunia dan digantikan oleh salah satu anak beliau (ahli waris) Andersin D. Libun. Pada saat pemeliharaan beliau ini pernah terjadi peristiwa yang membuat orang kampung terheran-heran masa itu pernah datang seorang perempuan yang bernama lamsiah dari Banua. Dia datang ke mangkatip menemui juru pelihara pancantoho dan berkisah bahwa dia adalah anak keturunan pencari ikan yang menemukan pancantoho. Dia datang ke mangkatip mengisahkan mimpinya bahwa dari kepala perahu itu keluar getah yang harus dikumpulkan diatas piring malawen kuno karena apabila ditaruh disana maka getah itu akan barubah menjadi batu. Pada saat batu itu diperiksa ternyata dia adalah anak roh gaib yang mendiami kepala perahu. Batu itu memiliki nama gelaran sehingga juru pelihara diminta untuk menyatukan nama yang diberikan oleh para nelayan yang artinya Datu Kayu. Sampai saat ini Pancantoho tidak berubah gelar dari Datu Kayu Rumah Kuning. Maka banyak sudah orang yang datang berziarah kesana untuk berhajat, ada pula yang mandi dengan maksud meminta pengobatan terhadap penyakit yang sangat sulit disembuhkan.
Sekarang ini pancantoho tetap ramai dikunjungi orang sebagai tempat wisata ziarah dan sudah masuk kedalam daftar Cagar Budaya Provinsi Kalimantan tengah. Hingga ini saat ini sebagai warga mangkatip masih yakin kalau Datu Kayu Pancantoho memiliki kemampuna gaib untuk melindungi kampung dari marabahaya. (Andersin .D. Libun – Ahli Waris)